***** Dzuzant's *****

"Tanpa Berkarya, Sungguh Kita Telah 'Mati'"

Pendidikan Keluarga (Family Education): Perspektif Anak

Posted by dzuzant pada November 16, 2011

بســــــــــــــــــــم الله الرّحمن الرّحـــــــــــــــــــــيم

Dalam menjalani bahtera keluarga tidak cukup sampai disini (pernikahan). Dalam sebuah keluarga dibutuhkan keharmonisan suami terhadap istrinya atau istri kepada suaminya. Karena dari keharmonisan keduanya akan memancarkan energi positif bagi keluarga dan anak-anaknya. Sehingga keluarga itu awet dan tahan lama. Dalam keluarga ada seorang pemimpin/ kepala keluarga yakni suami yang harus ditaati oleh istri. Sedangka istri adalah kepala rumah tangga yang mesti dihormati oleh suami. Allah berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….” [QS.An-Nisậ’: 39].

A. MEMBINA KELUARGA

 

وَمِنْ أٰيٰتِهِۤ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْاۤ إِلَيْـهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً إِنَّ فىِ ذٰلِكَ لَأٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ.

Artinya:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri  dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rủm: 21)

 

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan  laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisậ’:1)

Manusia, laki-laki maupun perempuan ditakdirkan sebagai makhluk yang berpasangan.

Pernikahan adalah sunnah Rasulullah saw. yang harus dilaksanakan oleh umatnya. Siapa yang tidak mengikuti sunnahnya (menikah) mereka bukan termasuk golongan umat Nabi Muhammad saw.

Nabi saw bersabda:

Perkawinan adalah sunnahku, siapa saja yang benci terhadap sunnahku (tidak menikah), maka mereka bukan sunnahku.” [HR. Bukhari Muslim]

Dalam hadis lain disebutkan:

مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدْ اِسْتَكْمَلَ نِصْفُ اْلاِيْمَانِ فَلْيَتَّقِ اللهَ فىِ النِّصْفِ اْلبَاقِي

Barang siapa menikah, maka sungguh ia telah menyempurnakan separuh iman, maka bertakwalah dia kepada Allah dalam separuh yang lain.” [HR. Thobrani]

Dalam hadis lain, disebutkan pula bahwa Rasulullah saw bersabda:

اَلدُّنْيَا كُلَّهَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا اْلمَرْاَةُ الصَّالِحَةُ

Dunia semuanya adalah harta benda, dan sebaik-baiknya harta benda adalah perempuan (istri) yang baik.” [HR. Ahmad, Muslim dan Nasai]

Tiga hal yang paling disukai Rasulullah saw seperti dalam sabdanya:

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ ثَلاَثٌ الطَّيِّبُ وَالنِّسَاءُ وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنىِ فىِ الصَّلاَةِ

Ada tiga hal yang sangat aku senangi di dunia ini, yaitu:

  1. a.      Wangi-wangian;
  2. b.      Istri shalihah; dan
  3. Ketenangan saat shalat.”

Pada masa Jahiliyah, masa sebelum Nabi Muhammad saw. diutus menjadi Rasul, kedudukan wanita tak lebih sebagai pemuas nafsu belaka bagi kaum lelaki hidung belang. Akan tetapi, setelah diutusnya Nabi Muhammad saw. menjadi  seorang Rasul, beliau mengangkat kedudukan kaum wanita (sesuai kodratnya) sama dengan kaum laki-laki. Sehingga tidak ada lagi pelecehan terhadap kaum wanita. Islam sangat menghargai keberadaan wanita. Di hadapan Allah semua manusia sama, hanyalah kadar keimanan merekalah yang membedakan. Di antara bentuk penghargaan Islam terhadap wanita adalah menikahi mereka (wanita) dengan cara yang baik. Tidak boleh menyentuhnya sebelum sah menjadi istrinya. Wanita dianjurkan memakai pakaian rapi, sopan dan menutupi auratnya. Sehingga tidak menimbulkan sahwat bagi yang melihatnya.

Pernikahan sendiri merupakan sesuatu yang sakral dalam Islam. Sehingga tidak seenaknya saja menikahi wanita atau menikah karena dorongan hawa nafsu belaka. Hal seperti inilah yang tidak diinginkan Allah. Karena sikap yang demikian seperti halnya merendahkan kedudukan kaum wanita. Orang yang akan menikah harus siap lahir-batin, niat ikhlas karena Allah, menegakkan sunnah Nabi saw., benar-benar cinta dan sayang kepada calon istri, ingin memperoleh keturunan yang baik, menghindari perzinahan dan lain sebagainya.

Dalam menjalani bahtera keluarga tidak cukup sampai disini (pernikahan). Dalam sebuah keluarga dibutuhkan keharmonisan suami terhadap istrinya atau istri kepada suaminya. Karena dari keharmonisan keduanya akan memancarkan energi positif bagi keluarga dan anak-anaknya. Sehingga keluarga itu awet dan tahan lama. Dalam keluarga ada seorang pemimpin/ kepala keluarga yakni suami yang harus ditaati oleh istri. Sedangka istri adalah kepala rumah tangga yang mesti dihormati oleh suami. Allah berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….” [QS.An-Nisậ’: 39].

Dalam hadis Nabi saw disebutkan:

Setiap manusia keturunan Adam itu adalah kepala, maka laki-laki (suami) adalah kepala keluarga, sedangkan wanita (istri) kepala rumah tangga.”

Wanita adalah pengatur rumah tangga suaminya dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas pengaturan itu.” [Hadis Syarif]

Suami adalah pengelola dalam lingkungan keluarganya, ia pun bertanggung jawab atas pengelolaan itu.”

Sebuah rumah tangga –menurut Buya Hamka (alm)-  bagaikan ‘perahu yang sedang berlayar di lautan lepas’. Suatu saat akan datang badai/ombak yang menghantam perahu itu. Dan di saat yang lain, perahu tersebut selamat dari hantaman badai. Dengan kata lain, tidak ada rumah tangga tanpa masalah. Masalah pasti selalu ada walau sekecil apa pun. Terkadang sebuah rumah tangga selamat dari masalah karena ia mengetahui cara menyikapinya dengan baik. Jika masalah itu dihadapi dengan emosi dan  kekerasan maka masalah itu tidak akan selesai-selesai. Malah tambah besar. Tetapi masalah itu harus dihadapi dengan tenang, sabar dan do’a. Allah memberikan isarat kepada manusia agar selalu minta pertolongan kepada-Nya dengan sabar dan shalat.

 

Keturunan yang Shaleh

 

Salah satu tujuan dari Rumah Tangga adalah memperoleh keturunan yang shaleh yang akan meneruskan dan memperjuangkan agama Allah di masa yang akan datang. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (Ash-Shaffat:77) Sebuah keluarga akan terasa sepi dan membosankan bila tidak ada si buah hati (anak). Seorang anak bagaikan obat penawar bagi orang tua. Melihat wajahnya mendatangkan kesejukan hati dan kedamaian jiwa. Karena dibalik tubuh yang mungil itu tersembunyi rahmat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah SWT berfirman,

Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu…” [An-Nahl: 72]

Para Nabi pun berdo’a untuk dikaruniai keturunan sebagai penerus perjuangannya. Seperti do’a Nabi Ibrahim al-Khalil a.s., yang direkam oleh Allah dalam Al-Qur’an,

 

رَبِّ هَبْ لىِ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ . فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلَـٰمٍ حَلِيْمٍ

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh.’ Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.” [ash-Shaffat: 100-101]

Dan seperti do’a Nabi Zakaria,

Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” [Maryam: 5-6]

Kemudian Allah menjawab do’a Nabi Zakaria,

Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberikan kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” [Maryam: 7]

 

Dan dalam do’a Ibadurrahman seperti,

“…Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al-Furqắn: 74]

 

 

B. MULIAKANLAH ANAK-ANAKMU

 Seorang anak adalah anugerah terindah yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Atau, meminjam istilah Imam Al-Ghazali, anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya. Di luar sana, jutaan manusia berjuang untuk memiliki seorang anak. Banyak pasangan suami-istri rela mengeluarkan uang puluhan bahkan ratusan juta rupiah hanya untuk mempunyai seorang anak. Beragam macam cara yang mereka tempuh demi mendapatkan buah hati. Mulai dari cara tradisional, yakni meminum ramuan yang terbuat dari tanaman-tanaman tertentu. Sampai dengan menggunakan cara modern, yaitu melalui proses bayi tabung. Ada juga yang memilih jalan pintas mengadopsi anak atau membeli anak dari orang lain.

Sedangkan, sebagian yang lain  justru tidak bersyukur setelah dikaruniai seorang anak. Mereka memperlakukannya seperti binatang. Beberapa tahun terakhir, media televisi maupun surat kabar (koran) ramai dengan berita-berita tentang kekerasan terhadap anak. Seperti seorang ibu meninggalkan ketiga putrinya yang masih kecil di dalam kamarnya. Sedangkan ibunya pergi karena tidak tahan dengan kemiskinan yang dideritanya. Ada juga seorang bayi yang dipukul dengan sadis hingga tulangnya patah. Belum lagi bayi-bayi yang menjadi korban penculikan dan bisnis perdagangan illegal. Alasannya hanya satu yaitu uang.

Kekerasan pada anak tidak hanya terjadi pada zaman sekarang, pada zaman sebelum Nabi Muhammad saw pun sering terjadi. Bahkan sudah menjadi budaya masyarakat pada zaman itu, yaitu ketika seorang wanita melahirkan seorang bayi perempuan dianggap aib bagi keluarganya. Dan biasanya mereka langsung menguburkan hidup-hidup bayi tersebut. Sebagaimana telah digambarkan oleh Allah dalam kitab-Nya: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” [QS. An-Nahl: 58-59].

Tidakkah kita perhatikan peringatan Allah melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an,

 

 وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْتَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰـفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَاْليَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا

Artinya:

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah (iman, ilmu dan amal) yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa’: 9).

Dalam beberapa hadis pun diperintahkan untuk memuliakan anak-anaknya. Karena memuliakan seorang anak akan mendatangkan kasih sayang Allah kepadanya. Selain itu akan dijauhkan dari api neraka, sebagaimana sabda Nabi saw.,

 

اَكْرِمُوْااَوْلاَدَكُمْ فَإِنَّ مَنْ اَكْـرَمَ اَوْلاَدَهُ اَكْرَمَهُ اللهُ فِى اْلجَـنَّةِ

          “Muliakanlah anak-anakmu karena sesungguhnya orang yang memuliakan anak-anaknya dimuliakan Allah pada hari kiamat.”

Rasulullah saw. bersabda:

 

اَلْأَوْلاَدُ حِرْزٌ مِنَ النَّـارِ وَاْلاَ كْلُ مَعَهُمْ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِوَكَرَا مَتُهَمْ جَوَازٌ عَلي الصِّرَاطِ

Anak-anak merupakan benteng dari api neraka dan makan bersama mereka (anak-anak) akan terbebas dari api neraka dan memuliakan mereka merupakan jalan keselamatan  melewati shirat (jembatan antara neraka dan surga).”

Rasulullah saw. besabda:

 

اَكْـرِمُوْااَوْلاَدَكُمْ فَإِنَّ كَـرَامَةَ اْلاَوْلاَدِ سَـــتْرٌ مِنَ النَّـارِ

Muliakanlah anak-anakmu, sebab sesungguhnya kemuliaan anak-anak itu merupakan penghalang dari api neraka.”[1]

Nabi saw bersabda, “Barang siapa yang mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan, atau dua anak perempuan, atau dua saudara perempuan, kemudian berbuat baik dalam memperlakukan mereka dan bersabar terhadap mereka, serta bertakwa kepada Allah dalam (mengurus) mereka, niscaya dia akan masuk surga.” [HR. Bukhari, Tirmidzi dan Ibnu Hibban]

Sebelum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden Indonesia ke-4 menghembuskan nafas terakhirnya, beliau berpesan kepada putrinya, Yeni, waktu itu ia sedang hamil, agar menjaga anaknya (yang masih dalam kandungannya) dengan baik. Ini membuktikan betapa pentingnya kehadiran seorang anak. Pada cerita di atas, Gus Dur mengajarkan kepada kita agar selalu menyayangi anak sebaik mungkin dan mendidiknya dengan ilmu yang baik pula. Karena bekal yang paling baik bagi anak adalah akhlak mulia dan ilmu yang bermanfaat.

Tidak hanya anak sendiri anak orang lain pun harus kita sayangi dan berilah pendidikan yang baik jika kita mampu. Nabi saw bersabda:

 

إِنَّ فِى اْلجَنَّةِ دَاراً يُقَالُ لَهـَا دَارُ الْفَرَحِ لاَيَدْخُلُهَا إِلاَّ مِنْ فَرَّحَ الصِّبْيَانَ

Sesungguhnya di surga itu ada suatu tempat yang dinamakan darul farah (tempat kegembiraan), tidak ada orang yang memasukinya kecuali yang menggembirakan anak-anak kecil.” [H.R. Abu Ya’la dari Siti Aisyah r.a.]

Dalam hadis ini mencakup anak kandung, anak orang lain, dan anak yatim atau pun bukan anak yatim.[2]

Khusus anak yatim banyak ayat maupun hadis yang berbicara tentang keutamaan berbuat baik kepada anak yatim di antaranya:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu: dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS.Al-Baqarah: 220]

 

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menyuruh – orang lain atau jiwanya sendiri – untuk memberi makan kepada orang miskin.” [al-Ma’un: 1-3]

“Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau bersikap kasar dan kepada peminta-peminta, janganlah engkau membentak-bentak.” [ad-Dhuha: 9-10]

Apakah kamu senang jika hatimu menjadi luluh dan kebutuhanmu tercapai, kasihanilah anak yatim, usap kepalanya, berilah makan dari makananmu, maka luluh hatimu dan kebutuhanmu tercapai.” [HR. Imam Thobrani]

Dalam hadis lain Nabi saw bersabda:

Barang siapa mengusap kepala anak yatim dengan kasih sayang, maka Allah mencatatnya pada setiap rambut yang dilewati tangannya satu kebaikan, menghapus setiap rambut satu kejelekan dan mengangkat dengan setiap rambut satu derajat.” [HR. Abu Waroqo’]

Nabi saw juga bersabda:

Rumah-rumahmu yang paling dicintai Allah adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang dimuliakan.” [HR. Imam Baihaqi dari sahabat Umar]

 

C. KEUTAMAAN MENDIDIK ANAK

 

Peran Keluarga dalam Pendidikan Anak

 

Rasulullah saw., bersabda: “Tidak ada pemberian yang lebih utama dari seorang ayah kepada anaknya daripada pendidikan yang baik (mengajarkan adab yang baik).

[HR. Tirmidzi dan al-Hakim dari Amru bin Sa’id bin Ash].

 

Tidak cukup bagi wanita/ibu hanya melahirkan dan membesarkan anak-anaknya tanpa turut bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya dengan baik, supaya mereka menjadi orang cerdas dan berakhlak mulia. Karena peran keluarga bagi anak sangat besar, sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam hadisnya: “Tiada seorang bayi pun dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah yang bersih, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana binatang melahirkan binatang keseluruhannya” [HR. Bukhari].

Pada dasarnya seorang anak seperti kertas putih yang sangat bersih tanpa noda sedikitpun. Apabila kertas itu diberi warna merah maka warna putihnya akan berubah menjadi merah atau terkena warna hitam maka akan berubah menjadi hitam. Atau seperti yang digambarkan Aristoteles, Filosof besar dari Yunani, bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa seperti sebuah meja lilin yang siap dilukis oleh pengalaman. Dengan kata lain, seorang anak akan menjadi baik jika dididik dengan baik oleh orang tuanya. Sebaliknya, seorang anak akan berakhlak tidak baik, brutal, dan suka berbuat keonaran bila orang tuanya memberikan contoh-contoh (teladan) dan pendidikan yang kurang baik kepada anak-anaknya.

Keteladanan dari seorang ayah/ibu sangat penting dalam keluarga. Karena pribadi anak senang meniru apa yang ia lihat dan ia dengar. Dan pertama kali yang ia dengar dan lihat sejak pertama lahir adalah sosok ibunya. Oleh karenanya ibu adalah guru pertama sebelum guru-guru yang lain. Dari sinilah seorang ibu/ayah memiliki peran penting dalam pembentukan karakter sang anak. Baik dan buruknya pribadi anak tergantung pendidikan yang mereka suguhkan kepada anaknya.

Dan, pendidikan yang utama bagi anak adalah pendidikan tentang akhlak. Rasulullah saw., bersabda: “Tidak ada pemberian yang lebih utama dari seorang ayah kepada anaknya daripada pendidikan yang baik (mengajarkan adab yang baik).” [HR. Tirmidzi dan al-Hakim dari Amru bin Sa’id bin Ash].

Dalam hadis lain disebutkan:

 

أَكـْرِمُوْااَوْلَادَكُمْ وَاَحْسِـُنوْاآدَابَهُمْ

“Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah budi pekertinya”.[3]

Akhlak yang baik adalah cermin orang mukmin yang sempurna imannya. Rasulullah saw. ditanya:

 

مَنْ هُوَ اَكْمَلُ اْلمُـؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا بِاللهِ ؟ قالـ صلى الله عليه وسلم : اَكْمَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَـائِهِمْ “اخرجه الترميذى واحمد

Siapa orang mukmin yang paling sempurna imannya kepada Allah? Rasulullah saw bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya kepada Allah adalah mereka yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya”. (HR. Turmudzi dan Ahmad)

Selama ini orang tua merasa cukup dengan pendidikan di sekolah/madrasah terhadap anaknya. Pendidikan dari sekolah tidaklah cukup tanpa disertai dengan pendidikan dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan dasar bagi anak-anaknya.

Dra. Rini Iriani, S.Psi., Guru BK SMA Assalaam, Bandung, ketika diwawancarai majalah Assalaam[4], mengatakan bahwa pada hakikatnya, Rumah Tangga (baca: keluarga) memiliki peranan penting dalam proses pendidikan. Sekolah formal sangat dibatasi oleh waktu. Sebaliknya, dalam Rumah Tangga pembelajaran tidak ditentukan oleh waktu. Keleluasaan anak dalam belajar sangat diuntungkan. Jika anak sudah belajar di sekolah  maka tidak ada lagi kewajiban belajar di rumah, adalah mitos[5] yang harus dihilangkan.

Sehubungan dengan proses pendidikan dalam keluarga, Dr. Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya Tarbiyatu al-Awlad memberikan beberapa metode mendidik anak. Pertama, pendidikan dengan keteladanan; yakni mendidik tidak hanya dengan sekedar mengajarkan, tapi dituntut pula untuk melaksanakannya. Contohnya: ketika orang tua menyuruh anak-anaknya untuk membaca Al-Qur’an, mengerjakan shalat dan puasa maka orang tua juga harus mengerjakannya. Firman Allah:

 

يٰاۤاَيُّهَاالَّذِيْنَ أٰمَنُوْا ِلمَ تَقُوْلُوْنَ مَالاَ تَفْعَلُوْنَ. كَبُرَ مَقْـتًا عِنْدَ اللهِ اَنْ تَقُولُوْا مَا لاَ تَفْعَلُوْنَ.

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah, lantaran kamu berkata (tentang sesuatu) yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Al-Shaff [61]: 2-3)

Dilihat dari asbaabun nuzuul-nya (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an), ayat ini turun ketika orang-orang Islam banyak yang mengatakan berjihad tapi mereka segan untuk berjihad. Maka turunlah ayat (Al-Shaff [61]: 2-3) ini sebagai peringatan terhadap mereka karena telah menyalahi ucapannya.

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat,  ِلمَ تَقُوْلُوْنَ مَالاَ تَفْعَلُوْنَ (mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?) turun berkenaan dengan orang-orang yang berkata-kata tentang perang, akan tetapi tidak pernah melakukannya, baik memukul, menusuk, ataupun membunuh.[6] Walaupun ayat ini turun berkenaan dengan situasi peperangan, bukan berarti hanya berlaku untuk peperangan saja. Akan tetapi siapa saja yang pandai bicara tapi bodoh dalam mengamalkan ilmunya, maka mereka akan dibenci oleh Allah.

Kedua, pendidikan dengan kebiasaan. Artinya, anak dibiasakan hidup dalam suasana Islami, misalnya shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, bangun pagi, dan kebiasaan lainnya yang sekiranya akan memotivasi (mendorong) anak untuk selalu melakukan kebaikan. Ketiga, pendidikan dengan nasihat. Nasihat yang lembut tapi mengena atau nasihat yang bisa menggugah perasaannya bukan dengan caci maki dan marah-marah yang tidak jelas. Dalam sebuah penelitian terhadap seorang bayi di Australia membuktikan, bahwa ketika seorang anak dimarahi atau kaget seketika itu juga ribuan sel otaknya hancur. Jika sel-sel otak hancur maka akan mengurangi kecerdasan anak. Keempat, pendidikan dengan perhatian. Orang tua harus punya perhatian dan dukungan terhadap apa saja yang dilakukan anaknya. Banyak seorang anak kabur dari rumah atau sering bermasalah di sekolah karena kondisi keluarganya tidak harmonis dan sang anak merasa tidak diperhatikan. Sehingga anak mencari perhatian dan kebahagiaannya di luar. Sehingga tidak ada lagi istilah, “rumahku surgaku” yang ada hanya “rumahku nerakaku”. Jika demikian, jalan keluarnya bagi anak adalah kabur dari rumah.

Orang tua juga harus selalu memantau apa saja yang di lakukan anaknya, bila yang dilakukan anak adalah salah, maka orang tua harus bertindak dengan memberikan pengarahan dan penjelasan tentang kesalahan tersebut. Sebaliknya jika apa yang dilakukan oleh anak itu sesuatu yang benar, maka orang tua pun harus meresponsnya dengan memberikan dukungan dan bantuan moril maupun material terhadap anaknya. Misalnya, memujinya dan memberikan hadiah mainan atau apa saja yang disukai anak. Kelima, Pendidikan dengan memberikan hukuman dan pernghargaan. Hukuman itu perlu selama tidak berlebihan. Rasulullah saw. bersabda, “Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat di kala mereka berusia 7 tahun dan pukullah mereka apabila meninggalkan shalat pada usia 10 tahun”.[7] Begitu juga dengan penghargaan terhadap kebaikan yang dilakukan anak, agar ia mampu untuk berbuat yang sama atau lebih baik. Bagi seorang anak, perhatian, kasih sayang, dukungan dan penghargaan adalah sesuatu yang sangat berharga dalam memacu kebaikan yang mereka lakukan.

 

Tips Praktis Mendidik Anak

 

Setelah mengetahui beberapa metode mendidik anak, ada baiknya kita mengetahui langkah-langkah mendidik anak secara praktis:

  1. Menciptakan suasana kondusif (baik).

Dalam Rumah Tangga (keluarga) suasana kondusif harus diutamakan. Sebab ini sangat penting dalam proses mendidik anak. Pengaruh lingkungan sangat besar terhadap perkembangan anak. Lingkungan yang baik akan selalu  mendorong anak melakukan kebaikan. Begitu juga sebaliknya.

  1. Mengakrabkan anak dengan Islam.

Langkah ini bisa dimulai dari mengenalkan anak kepada nama[8] dan sifat-sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, para Nabi, para malaikat, kitab Allah (Al-Qur’an) dan cerita-cerita Islami [misalnya: cerita para sahabat].

  1. Tidak banyak mencela dan memaki anak.

Pada dasarnya anak mampu merekam apa saja yang didengar dan dilihatnya. Oleh sebab itu, dalam mendidik anak hendaknya orang tua menghindari kata-kata yang tidak baik (kasar). Seperti mencela, memaki, memarahi dengan kata-kata kasar dan sebagainya.

  1. Menanamkan kecintaan anak terhadap ilmu.
  2. Biasakan anak untuk belajar dan membaca buku setiap hari walaupun hanya 3 menit. Hal ini supaya wawasannya luas.
  3. Ada senjang waktu dalam memberi nasehat.

Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw selalu memilih waktu yang tepat untuk memberikan nasehat kepada kami dalam beberapa hari karena takut kami akan merasa bosan.” [HR. Muslim]

  1. Hendaklah anak dibiasakan makan dan minum menggunakan tangan kanan.

“Dari Umar bin Abi Salamah ra. Ia berkata, Rasulullah saw., berkata: bacalah bismillahirrah manirrahim dan makanlah dengan tangan kananmu, dan (kalau bersama-sama orang lain), ambillah makanan yang terdekat/dihadapanmu.” [muttafaq ‘alaih]

“Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw., bersabda: Kalau seorang diantara kalian makan, maka makanlah dengan tangan kanannya. Dan kalau minum maka hendaklah minum dengan tangan kanannya sebab sesungguhnya setan makan dan minum dengan tangan kirinya.”[HR. Muslim]

  1. Biasakan anak hidup sederhana/tidak berlebihan.

Islam mendorong umatnya agar selalu hidup sederhana dan melarang sikap berlebihan seperti menghambur-hamburkan uang dan sebagainya. Dalam Al-Qur’an disebutkan seperti berikut:

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarganya yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

* Sesungguhnya Pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar terhadap Tuhannya.

* Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah, pada mereka ucapan yang pantas.

* Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” [Al-Isra’: 26-29]

Kekayaan yang sebenarnya menurut Rasulullah saw adalah kekayaan hati. Seperti dalam sabdanya, “Kaya itu bukan karena banyak harta melainkan kaya itu adalah karena kaya hati.” [HR. Bukhari dan Muslim]

  1. Memuji dan mendukung anak bila melakukan kebaikan atau perbuatan terpuji.
  2. Cegahlah ia dari mengambil milik orang lain.
  3. Tanamkan pada anak jiwa sosial atau kepedulian terhadap sesama.

Misalnya: apabila ada pengemis berilah uang kepada anak untuk dikasihkan kepada pengemis tersebut.

  1. Cegahlah anak dari banyak bersumpah.
  2. Biasakan anak untuk bersikap sopan kepada orang tua, guru dan orang yang lebih tua.
  3. Ajaklah anak bersilaturrahmi.

“Dan dalam riwayat Abu Sufyan, ketika ia ditanya oleh raja Hiraklius, “Apakah yang diperintahkan oleh Nabi itu?” Jawab Abu Sufyan, Menyuruh kami menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Dan meningglkan semua syari’at-syari’at ayah kami, dan menyuruh anak kita shalat; berkata benar, sopan, dan menghubungi kaum kerabat.” [HR. Bukhari dan Muslim]

 

Al-Faqih Abu Laits Samarqandhi[9] menyebutkan 10 keuntungan silaturrahmi, yaitu:

v  Memperoleh rida Allah SWT. karena Dia yang memerintahkannya;

v  Membuat gembira orang lain;

v  Menyebabkan pelakunya menjadi disukai para malaikat;

v  Mendatangkan pujian kaum muslimin kepadanya;

v  Membuat marah iblis;

v  Memanjangkan usia;

v  Menambah barakah (cukup) rezekinya;

v  Membuat senang kaum kerabat yang telah meninggal, karena mereka senang jika anak atau cucunya selalu bersilaturrahmi;

v  Memupuk rasa kasih sayang di antara keluarga/famili sehingga timbul semangat saling membantu ketika berhajat;

v  Menambah pahala sesudah pelakunya meninggal karena ia akan selalu dikenang, dan didoakan karena kebaikannya.

  1. Ajaklah anak untuk berziarah ke makam Walisongo atau makam ulama yang lain. Sambil jelaskan kepada anak tentang perjuangan mereka dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam.
  2. Biasakan anak diajak ke tempat-tempat yang bersejarah seperti makam para pahlawan dan disertai dengan penjelasan kepada anak perjuangan para pahlawan tersebut.
  3. Sebelum tidur biasakan anak diceritakan tentang cerita Islami (misalnya: cerita para Nabi, para sahabat, para pahlawan dan perjuangan orang-orang shaleh dalam menyebarkan ajaran Islam).

 

Anak dan Ilmu

 

Salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah mendidik anak dengan ilmu yang baik. Bila tidak mampu minta tolonglah kepada kiai, ulama, guru, ustadz atau disekolahkan di sekolah umum atau di Pesantren.

Ada beberapa alasan pentingnya ilmu bagi anak;

  • Anak adalah pewaris tunggal masa depan. Aset masa depan yang paling berharga dari sutra, perak dan emas. Kalau tidak dibekali ilmu yang cukup, bagaimana ia akan mengurusi dirinya, orang lain dan negaranya. Maka jangan heran -kata Aa Gym (Abdullah Gymnastiar)- bila manusia sedikit-sedikit main hajar, pukul, marah dan emosional karena kurang ilmunya. Mereka tidak tahu menyikapi masalah. Orang berilmu menyikapi masalah dengan hati dan pikiran. Sedangkan orang yang tidak berilmu (bodoh) menyikapi masalahnya dengan kekuatan otot, bertengkar.
  • Ilmu adalah kunci memperoleh dunia dan akhirat.

 

مَنْ اَراََدَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

وَمَنْ اَرَادَ اْلآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِمِ

وَمَنْ اَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

Siapa yang menginginkan dunia maka dengan ilmu

Dan siapa yang menginginkan akhirat harus dengan ilmu

Dan barangsiapa menginginkan keduanya (dunia dan akhirat)  maka dengan ilmu

 

Artinya, orang yang tidak berilmu, dunia tidak didapat akhirat pun semakin jauh. Dalam banyak kesempatan Nabi saw. mewanti-wanti umatnya agar mencintai ilmu dan menyuruhnya untuk mencari ilmu di mana pun dan sampai kapan pun. Usia bukanlah halangan untuk menuntut ilmu.

 

اُطْلُبُوا ْالعِلْمَ وَلَوْبِالصِّيْنِ، فَاِنَّ طَلَبَ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ، اِنَّ اْلمَـلاَئِكَةَ تَضَعُ اَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ اْلعِلْمِ رِضَاءً بِمَا يَطْلُبُ

Carilah ilmu walau di negeri China, karena sesungguhnya menuntut ilmu wajib bagi setiap umat Islam, sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya kepada orang yang mencari ilmu karena senang dengan apa yang dicarinya.”[HR. Ibnu Abdul Bar]

Tuntutlah ilmu mulai dari buaian ibu sampai liang lahat.”

 

Manusia yang paling rugi pada hari kiamat adalah laki-laki yang mempunyai kesempatan  mencari ilmu di dunia, tapi ia tidak mencarinya, dan laki-laki yang mengajarkan ilmu, kemudian orang yang mendengarkannya bisa mengambil manfaat darinya, bukan dia sendiri.” [HR. Ibnu Asakir dari Imam Anas]

Ilmu yang bermanfaat merupakan salah satu amal yang tidak akan pernah putus walaupun kita sudah meninggal. Ada tiga dasar (azas) supaya ilmu bermanfaat:

  1. Jangan engkau mencintai dunia, karena dunia bukan tempat orang-orang beriman menerima pahala-Nya.
  2. Jangan berteman dengan setan, karena setan bukan teman orang-orang beriman.
  3. Jangan mengganggu seseorang, karena mengganggu orang lain bukan pekerjaan orang-orang beriman.

Dalam Islam, ilmu memiliki posisi sangat mulia. Bahkan, Nabi saw. menganjurkan umatnya untuk selalu dekat dengan ulama agar selalu dinasehati bila melakukan kesalahan dan bisa mengajarinya ilmu yang banyak. Rasulullah saw. sabdanya:

 

عَلَيْكُمْ ِبمَُجَالَسَةِ الْعُلَمَاءِ وَاسْتِمَاعِ كَلاَمِ اْلحُكَمَاءِ فَإِنَّ اللهَ تَعَالى يُحْيِ الْقَلْبَ اْلمَيِّتَ بِنُوْرِ اْلحِكْمَةِ كَمَا يُحْيِ اْلاَرْضَ اْلَميْتَةَ ِبمَاءِ الْمَطَرِ

 

Hendaknya kalian duduk bersama ulama dan mendengarkan perkataan hukama’ (orang bijak), karena sesungguhnya Allah ta’ala menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana menghidupkan bumi yang mati dengan air hujan.”

 

 

 

جَالِسُوْااكُبَرَاءَ وَسَائِلُواْالعُلَمَاءَ وَخَالِطُوااْلحُكَمَاءَ

Duduklah bersama kubara’ (ulama besar) dan bertanyalah kepada para ulama serta bergaullah dengan para hukama’ (orang bijak).” (HR. Thabarani dari Abu Hanifah).

Imam Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Nashaihul Ibad  membagi ulama ke dalam tiga bagian, yaitu:

  1. Ulama yang sangat menguasai dan memahami hukum-hukum Allah.

 

Ulama seperti ini disebut dengan ash-habul fatwa, yaitu ulama yang banyak mengeluarkan fatwa.

 

  1. Ulama yang sangat dalam kemampuannya tentang ma’rifat kepada dzat Allah.

 

Ulama seperti ini disebut hukama’. Golongan ulama ini senantiasa menitikberatkan pada upaya memperbaiki tingkah laku dan akhlak, baik untuk diri sendiri maupun umatnya. Demikian itu karena hati mereka selalu tersinari dengan ma’rifatullah dan jiwa mereka selalu tersinari dengan cahaya keagungan Allah.

 

  1. Ulama-ulama besar yang disebut dengan kubara’.

 

Ulama seperti ini senantiasa melakukan hal-hal yang terpuji untuk kepentingan makhluk Allah, terutama ahli ibadah. Lirikannya lebih memberi manfaat daripada ucapannya. Begitu pula sebaliknya, barangsiapa yang lirikannya tidak memberi manfaat kepada Anda, maka ucapannya pun tidak akan memberi manfaat.

 

Rasulullah saw. bersabda:

 

سَيَأْتِي زَمَانٌ عَلى أُمَّتِي يَفِرُّوْنَ مِنْ العُلَمَاءِ وَاْلفُقَهَاءِ فَيَبْتَلِيْهِمْ اللهُ بِثَلاَثِ بَلِيَّاتٍ أُولاَهَا يَرْفَعُ اللهُ اْلبَرَكَةَ مِنْ كَسْبِهِمْ وَالثَّانِيَةُ يُسَلِّطُ اللهُ تعالى عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا ظَالِمًا وَالثَّالِثَةُ يَخْرُجُوْنَ مِنْ الدُّنْيَا بِغَيْرِ إِيْمَانٍ

 

Akan datang suatu masa kepada umatku di mana mereka lari dari ulama dan fuqaha’, maka Allah akan menurunkan tiga macam musibah kepada mereka, yaitu:

  1. 1.      Allah menghilangkan berkah dari rizki mereka;
  2. 2.      Allah menjadikan penguasa yang dzalim bagi mereka;
  3. Allah mengeluarkan mereka dari dunia ini tanpa membawa iman.

 

  • Orang yang berilmu akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT.

 

  يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوتُوااْلعِلْمَ دَرَجٰتْ ….

“…. Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat….” [QS. Al-Imran: 11]

 

Anak dan TV

 

Pada zaman sekarang siapa yang tidak senang menonton tayangan TV, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa hampir semuanya sangat menyukai “kotak ajaib” (TV) ini. Anak-anak lebih banyak hafal nama-nama artis dari pada nama-nama para Nabi Allah. Anak-anak lebih akrab dengan kehidupan selebritis dari pada dengan Islam. Akibatnya anak semakin jauh dari Islam. Sejak adanya TV, guru ngaji mereka adalah “kotak ajaib” itu. Sedangkan tayangan-tayangan yang ditampilkan di TV sudah banyak yang tidak mendidik, tidak layak ditonton. Seperti sinetron percintaan yang banyak mendorong anak melakukan perbuatan yang tidak baik, pergaulan bebas, seks dan kekerasan rumah tangga dan kekerasan lainnya.

Dilihat dari sifatnya yang audio-visual (dapat dilihat gambarnya dan dapat didengar suaranya), TV memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap manusia. Seperti dikatakan Dawyer seorang pakar komunikasi: ”Sebagai audio-visual, TV mampu merebut 94% saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. TV mampu membuat orang pada umumnya mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar TV walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau secara umum orang akan ingat 85% dari apa yang mereka lihat di TV setelah 3 jam kemudian dan 65% setelah 3 hari kemudian”.

Media Televisi ibarat pedang bermata dua, dapat digunakan untuk kebaikan dan keburukan. Sebagai sarana kebaikan karena TV dapat memberikan informasi-imformasi penting kepada pemirsanya. Dengan kata lain, sebagai sarana pendidikan. Akan tetapi, apabila tayangan-tayangan yang ditampilkan di media TV bertentangan dengan Islam seperti; kekerasan, membuka aurat, menabur fitnah dan kerusakan, maka TV itu menjadi sumber bencana, malapetaka dan keburukan. Dan inilah awal dari kehancuran umat Islam.

Sehubungan dengan dampak/ akibat dari tayangan kekerasan, menurut Ron Solby dari Universitas Harvard di AS, bahwa ada 4 dampak kekerasan dalam TV terhadap perkembangan anak:

 

  1. Dampak agresor, di mana sifat jahat dari anak semakin meningkat.
  2. Dampak korban, di mana anak menjadi penakut dan semakin sulit mencapai orang lain.
  3. Dampak pemerhati, di mana anak menjadi makin kurang peduli terhadap kesulitan orang lain.
  4. Dampak nafsu, dengan meningkatnya keinginan anak melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.

 

Dalam sebuah penelitian yang diakukan oleh Yale Family Television menyebutkan anak-anak yang menyaksikan program fantasi kekerasan cenderung kurang koperatif, kurang baik dalam bergaul, kurang gembira, kurang imajinatif, serta angka IQ-nya rendah. Pecandu TV umumnya gelisah dan memperlihatkan masalah di sekolah.

Leonard Eron dan Rowell Huesman dari hasil penelitiannya mengungkapkan, tontonan kekerasan  yang dinikmati pada usia 8 tahun akan mendorong tindak kriminalitas pada usia 30 tahun.

Sedangkan bahaya-bahaya lain akibat TV menurut Syeikh Abdullah Nashih Ulwan antara lain:

 

  1. Bahaya terhadap jiwa, seperti bergantung dan terikatnya hati atau jiwa dengan artis cantik yang selalu mengusik perasaan dan pikiran.
  2. Bahaya kesehatan, seperti melemahkan pandangan dan membiasakan orang suka begadang.
  3. Bahaya bagi pelajaran, seperti pelajar menjadi pemalas terhadap tugas-tugas sekolahnya dan malas membaca atau menghafal atau hal-hal yang dapat menambah daya intelektualitas mereka.
  4. Bahaya terhadap pikiran, seperti melemahnya daya nalar, mengurangi bakat berpikir, pemahaman dan belajar.
  5. Bahaya terhadap masyarakat di mana kumpul-kumpulnya laki-laki dan perempuan, pergaulan yang semrawut, kebejatan moral dan hancurnya nilai-nilai akhlak. Di samping itu orang yang menghabiskan waktunya dengan begadang menonton TV ia akan merasa menderita. Tidakkah anda berfikir orang-orang yang beriman.

 

Disebutkannya beberapa dampak TV di atas, bukan berarti orang tua melarang anaknya menonton acara TV. Karena pengekangan yang berlebihan akan berdampak buruk bagi psikologi/ kejiwaan anak. Akan tetapi orang tua harus lebih hati-hati dalam memilih tayangan acara TV bagi anaknya. Orang tua harus lebih selektif memilih tayangan-tayangan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Sebagaimana telah dikatakan oleh Bapak Dr. muh. Alwi Dahlan dalam sebuah diskusi di masjid Istiqlal, bahwa: “Orang tua harus aktif menyeleksi mata acara apa sajakah yang boleh ditonton oleh anaknya. Orang tua berhak melarang anaknya menonton acara-acara yang dinilainya negatif. Jadwal acara menonton disesuaikan dengan anak mengerjakan PR, shalat dan kewajiban lainnya. Orang tua harus senantiasa mendiskusikan tontonan agar anak bisa memilih dan memilah hal yang baik dan buruk yang layak dan tidak layak diserap”.[10]   Selain itu, orang tua juga menyempatkan diri untuk menemani si buah hati menonton TV agar anak tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang membahayakan anak.

 

D. DIALOG TAUHID KEPADA ANAK

 

Pada bab ini berisi metode pembelajaran terhadap anak melalui pendekatan cerita dan kisah-kisah hikmah. Biasanya metode pendekatan ini lebih efektif, mudah diterima dan dipahami dan mudah diingat oleh anak.

Berikut adalah kutipan dari tulisan Muhammad Ali Qutb:

1. Keajaiban Lebah

 

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah rumah-rumah di gunung-gunung dan di pohon-pohon dan di tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari setiap buah-buahan, lalu tempuhlah jalan-jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan.” Dia mengeluarkan dari perutnya minuman yang warnanya bermacam-macam di dalamnya terkandung obat penyembuh bagi manusia. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berakal.” [QS. An-Nahl: 68-69]

 

Maka, sarang lebah, rumahnya, tempat tinggalnya, dan tempat berlindungnya, masih merupakan perumpamaan di kalangan umat manusia yang mempunyai akal dan pemahaman, dan tempat kekaguman disebabkan bangunannya yang artistic.

Lebah tidak pernah mencicipi bangku sekolah atau pelajaran arsitektur. Ia hanyalah makhluk kecil dan lemah, dari kelompok serangga yang terbang, yang telah diberi naluri sehingga dapat bergerak dan berusaha, membangun dan bekerja.

Allah sebaik-baik Pencipta yang penuh berkah !

Demikian juga madunya, yang diisapnya dari bunga. Ia menyedot sarinya dan menyimpannya, kemudian ia keluarkan dari sarangnya, bukan untuk dirinya tetapi untuk makhluk lain. Kamu melihatnya terbang bagaikan jalan yang bersambung antara kembang dan sarang, mengeluarkan bunyi yang nyaring.”

Aisyah bertanya, “Dari mana sumber bunyi lebah itu, ayah? Apakah dari mulutnya? Mengapa begitu bunyinya?

Ayah menjawab, “Itu berasal dari kepakan sayap-sayapnya yang memukul ruang angkasa, seperti bunyi kipas angina.”

Aisyah berkata, “Aku mengerti sekarang. Dan satu hal yang tidak dapat saya sembunyikan darimu ayah, bahwa saya sangat menyukai madu.”

Ibu memeluk Aisyah dan berkata, “Itu jelas, Aisyah. Kelihatan dari perhatianmu yang selalu tertuju kepada sepiring madu di atas meja makan pagi.”

Semua tertawa.

Kemudian ayah menambahkan, “Pembicaraan tentang madu tidak berkisar pada rasa, dan makanan, tetapi lebih dari itu. Madu merupakan obat penyembuh penyakit khususnya penyakit dada. Maha benar Allah dalam firman-Nya,

Di dalamnya terdapat obat penyembuh bagi manusia.”

 

2. Asad dan Kupu-kupu Warna warni

Karya Harun Yahya

 

Di akhir pekan, Asad berkunjung ke kakeknya. Dua hari berlalu begitu cepat, dan sebelum Asad mengetahuinya, Ayahnya telah tiba untuk membawanya pulang. Asad mengucapkan selamat tinggal pada kakeknya dan duduk di dalam mobil. Ia melihat keluar jendela, menanti Ayahnya mengumpulkan barang-barangnya. Seekor kupu-kupu hinggap di sebuah bunga tak jauh darinya, mengibaskan-ngibaskan sayap, dan terbang ke jendela mobil.

“Kamu mau pulang ke rumah, Asad?” tanya kupu-kupu itu dengan suara kecil.

Asad sangat terkejut. “Kamu tahu siapa diriku?” tanyanya.

“Tentu saja aku tahu,” senyum kupu-kupu mengembang. “Aku mendengar kakekmu menceritakan dirimu pada tetangga-tetangga.”

“Mengapa tidak dari dulu kamu datang dan bicara denganku?” Asad ingin tahu.

“Aku tak bisa, karena aku berada dalam sebuah kepompong di atas pohon dalam taman,” kupu-kupu itu menjelaskan.

“Sebuah kepompong? Apa itu?” tanya Asad, yang senantiasa ingin tahu.

“Mari kujelaskan semua dari awalnya,” kata kupu-kupu itu sambil menghirup udara yang dalam. “Kami, kupu-kupu, menetaskan telur menjadi ulat-ulat kecil. Kami memberi makan diri kami dengan mengerumuti dedaunan. Kemudian, kami gunakan cairan yang keluar dari tubuh kami seperti benang, dan membungkus diri kami di dalamnya. Bungkusan kecil hasil tenunan kami disebut sebagai sebuah kepompong. Kami menghabiskan waktu beberapa lama di dalam bungkusan itu sambil tumbuh berkembang. Ketika kami bangun dan keluar dari kepompong, kami mempunyai sayap-sayap cerah berwarna-warni. Kami menghabiskan sisa hidup kami dengan terbang dan memberi makan diri kami dengan bunga-bungaan.”

Asad mengangguk-angguk penuh pemikiran. “Maksudmu, semua kupu-kupu berwarna-warni itu dulunya adalah ulat-ulat, sebelum mereka menumbuhkan sayap?”

“Bisakah kau lihat ulat hijau di cabang itu?” tanya kupu-kupu.

“Ya, aku melihatnya. Ia sedang menggerogoti daun dengan kelaparan..”

“Itu adik lelakiku,” kata  ulat bulu itu tersenyum. “Beberapa waktu lagi ia akan menenun sebuah kepompong, dan suatu hari akan menjadi kupu-kupu seperti aku.”

Asad punya banyak sekali pertanyaan yang ingin diajukannya pada teman barunya. “Bagaimana caramu merencanakan perubahan ini? Maksudku, kapan kamu keluar dari sebuah telur, berapa lama kamu  menjadi seekor ulat bulu, dan bagaimana kamu membuat benang untuk menenun kepompongmu?”

“Aku tidak merencanakan apapun,” kupu-kupu itu dengan sabar menjelaskan. “Allah telah mengajari kami apa yang perlu kami lakukan, dan kapan kami harus melakukannya. Kami hanya bertindak sesuai dengan kehendak Allah.”

Asad benar-benar terkesan. “Pola-pola di sayapmu sangat indah. Semua kupu-kupu memiliki corak  yang berbeda-beda, bukankah begitu? Mereka betul-betul berwarna-warni dan menarik perhatian!”

“Itulah bukti kesenimanan Allah yang tak tertandingi. Ia menciptakan kita satu demi satu, dengan kemungkinan cara yang paling indah,” temannya menjelaskan.

Asad menyetujuinya dengan antusias: “Tidak mungkin kita mengabaikan hal-hal indah yang telah Allah ciptakan. Ada ratusan contoh di sekeliling kita!”

Kupu-kupu setuju: “Kamu benar, Asad. Kita mesti berterimakasih pada Allah atas segala berkah ini.”

Asad melihat ke arah punggungnya. “Ayahku datang. Tampaknya kami akan segera berangkat. Luar biasa sekali bisa bertemu denganmu. Bisakah kita berbicara lagi ketika aku datang minggu depan?”

“Tentu saja,” kupu-kupu mengangguk. “Semoga selamat di perjalanan sampai ke rumah.”

Segala sesuatu di langit dan bumi memuja Allah … (Surat Al-Hadid, 1)

 

Tidakkah kalian melihat bahwa Allah mencurahkan air dari langit, dan dengannya Ia menumbuhkan buah-buahan beraneka jenis? Di pegunungan, terdapat lapisan-lapisan merah dan putih, bayang-bayang yang beranekaragam, dan batu-batu hitam legam. Manusia dan hewan, serta ternak, juga beraneka warna. Hanya pelayanNya yang berpengetahuan yang takut kepada Allah. Allah adalah Yang Maha Kuasa, Maha Memaafkan (Surat Fatir: 27-28).

 

3. Faruk dan Rayap

Karya Harun Yahya

Hari Minggu yang cerah. Faruk bepergian ke hutan untuk berpiknik dengan guru dan teman-teman sekelasnya. Setibanya di sana, mereka mulai bermain petak umpet.

Tiba-tiba, Faruk mendengar sebuah suara menjerit, “Hati-hati!” Faruk mulai melihat ke kanan dan ke kiri, tak pasti darimana suara itu berasal. Namun, tak seorangpun di sana. Kemudian, didengarnya suara yang sama. Kali ini, suara itu berkata, “Aku ada di bawah sini!” Tepat di sebelah kakinya, Faruk melihat seekor serangga yang tampak mirip sekali dengan semut.

“Kamu siapa?” tanya Faruk.

“Aku adalah seekor rayap,” makhluk mungil itu menjawab.

“Aku tidak pernah mendengar makhluk yang bernama rayap,” ledek Faruk. “Kamu tinggal sendiri?”

“Tidak,” jawab serangga itu, “Kami tinggal di sarang-sarang dalam kelompok-kelompok besar. Kalau kamu mau, aku akan memperlihatkan salah satu padamu.”

Faruk setuju, dan mereka berjalan. Ketika mereka tiba, apa yang diperlihatkan rayap pada Faruk tampak seperti sebuah bangunan tinggi tanpa jendela.

“Apa ini?” Faruk ingin tahu.

“Inilah rumah kami,” rayap itu menjelaskan.”Kami membangunnya sendiri.”

“Tapi, kamu begitu kecil,” bantah Faruk. “Kalau teman-temanmu ukurannya juga sama denganmu, bagaimana mungkin kalian bisa membuat sesuatu yang begitu besar seperti ini?”

Rayap tersenyum. “Kamu memang pantas terkejut, Faruk. Makhluk kecil seperti kami mampu membuat tempat-tempat seperti ini benar-benar mengejutkan. Tapi jangan lupa, semua ini gampang saja untuk Allah, Pencipta kita semua.”

“Lebih dari itu, selain sangat tinggi, rumah-rumah kami memiliki keistimewaan-keistimewaan lain. Misalnya, kami membuat ruang-ruang khusus untuk anak-anak, tempat-tempat untuk menumbuhkan jamur, dan kamar tempat ratu bertahta di rumah-rumah kami. Kami tidak lupa membuat sebuah sistem pertukaran hawa untuk rumah kami. Dengan cara itu, kami dapat menyeimbangkan kelembapan dan suhu di dalam ruangan. Dan, sebelum aku lupa, biarkan aku memberitahu hal-hal lain, Faruq. Kami ini tidak bisa melihat!”

Faruq sangat takjub. “Meskipun kamu begitu kecil sampai-sampai sulit terlihat, kamu bisa membuat rumah-rumah persis seperti gedung-gedung tinggi yang dibuat manusia. Bagaimana kalian melakukan ini semua?”

Rayap itu lagi-lagi tersenyum. “Seperti kukatakan sebelumnya, Allah-lah yang memberi kami semua bakat-bakat luarbiasa ini. Ia menciptakan kami sedemikian rupa hingga kami mampu melakukan hal-hal semacam ini. Tapi Faruq, sekarang aku harus pulang ke rumah dan membantu teman-temanku.”

Faruq memahami. “Oke, aku sendiri ingin pergi dan memberitahu orangtua serta teman-temanku tentang apa yang telah kupelajari darimu barusan.”

“Gagasan yang bagus, Faruk,” Rayap melambaikan tangan. “Jaga dirimu. Semoga kita bisa bertemu lagi.”

 

4. Burung yang Pincang

Oleh  Dedy Susanto

 

Di pagi yang cerah Andi dan ayah serta ibunya jalan-jalan (lari pagi) di sekitar rumahnya. Di sekitar rumahnya banyak pohon dan tumbuh-tumbuhan yang indah yang dapat mereka nikmati sepuasnya. Tidak hanya itu, setiap hari bermacam-macam burung datang hanya untuk bertengger di atas pepohonan yang indah itu.

Tiba-tiba Andi melihat seekor burung yang tidak bisa terbang.

Andi bertanya, “Ayah, kenapa burung itu tidak dapat terbang seperti burung-burung yang lain?”

Ayah menjawab, “Anakku sayang! Burung itu tidak akan bisa terbang karena sayapnya patah. Dan juga tidak bisa berjalan dengan baik karena kakinya pincang.”

Andi berkata, “em…em…em…. Sekarang Andi mengerti. Tapi, bagaimana ia mendapatkan makanan?”

Ibunya berkata, “Anakku yang baik! Coba kamu perhatikan bagaimana burung yang pincang itu menperoleh makanan.”

Beberapa menit kemudian, sekelompok burung menghampirinya dan memberikan makanan yang dibawanya kepada burung yang pincang tersebut. Dan burung yang pincang itu memakannya dengan lahap.

Ibunya Andi bertanya kepada anaknya, “Anakku! apa yang kamu lihat ?”

“Teman-temannya burung yang pincang memberikan makanan, ibu.” Jawab Andi dengan perasaan takjub.

Ibunya berkata, “Begitulah anakku, burung tersebut memperoleh makanan sehari-hari. Allah tidak membiarkan makhluk-Nya kelaparan. Seperti burung itu. Begitu juga dengan manusia, Allah akan mencukupi rizkinya. Kalau Andi nanti bertemu dengan temannya yang sedang kelaparan di sekolah, Andi harus bagaimana?”

Andi menjawab, “Andi harus menolongnya, ibu. Andi kan pengen disayang Allah. Andi juga pengen disenangi teman-teman Andi di sekolah.”

Ayah dan ibunya berkata, “Anak pinter. Sebelum berangkat sekolah Andi harus makan yang baik dan minum susu, agar tubuh Andi sehat dan bisa menolong teman-temannya di sekolah.”

Andi berkata, “Ayah, Ibu, ayo pulang udah siang, Andi mau berangkat ke sekolah.”

Ketiganya pun kembali kerumahnya dengan perasaan sangat bahagia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR BACAAN

Al-Qur’an Al-Karim.

Asbaabun Nuzuul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, (edisi kedua).

 

Abu Said Al-Khudri, Syahwat Televisi: Menggugat Tayangan Vulgar Televisi, Mujahid Press, Bandung, 2005.

Al-Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin (ebook).

Dr. Abdurrahman Umairah, Wanita-wanita dalam Al-Qur’an, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2009.

Dr. Abdullah bin Wakil Asy-Syaikh, Wanita dan Tipu Daya Musuh, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996.

Dr. Hasbi Indra, MA., Potret Wanita Shalehah, Paramadani, Jakarta, 2004.

H. Abd. Aziz Masyhuri, Mutiara Qur’an dan Hadits, Al-Ikhlas, Surabaya, 1980.

Imam Nawawi Al-Bantani, Nashaihul Ibad: Nasihat-nasihat untuk Para Hamba (cet.ke-6), Irsyad Baitus Salam, Bandung, 2006.

Jamal Ma’mur Asmani, Setitik Embun Surga Menghiasi Taman Keluarga, Pustaka Al-Mawardi, Jakarta, 2008.

Muhammad Ali Qutb, Mengenal Allah: Dialog Tauhid Kepada Anak, Gema Insani Press, Jakarta, 1998.

Majalah Assalaam, Menyambut Tahun Baru Hijriah 1427 (edisi kelima), Bandung, No. 5/Januari 2006.

Prof. DR. H. Rahmat Syafe’i, M.A., Al-Hadis: Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum, Pustaka Setia, Bandung.

Sayyid Jamiliy, Fatwa-fatwa Rasulullah, Pustaka Amani, Jakarta.

Syeikh Abdullah Nashih Ulwan, Islam Melawan Gejolak Mass Media, CV. Ramadhani, Solo, 1991.

Syekh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani, Tanqiihul Qaul Al-Hatsists: Penafsiran Hadis Rasulullah saw. Secara Kontekstual, Trigenda Karya, Bandung, 1995.

Thorik Gunara, Komunikasi Rasulullah: Indahnya Berkomunikasi Ala Rasulullah, Simbiosa Rekatama Media, Bandung,  2009.

Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Gema Insani, Jakarta, 2002.

 

 

 

 

Internet:

deltapapa.wordpress.com/…/mendidik-anak-secara-islam/

nyariduitreceh.blogspot.com/2009/05/psikologi-anak.

www.scribd.com/doc/3150065/30-Kiat-Mendidik-Anak

www.infoanak.com.

www.harunyahya.comindoanakcerita2cerita2


[1] Lihat kitab Tanqiihul Qaul Al-Hatsists: Penafsiran Hadis Rasulullah saw. Secara Kontekstual, karya Syekh Muhammad bin Umar An-Nawawi Al-Bantani, Trigenda Karya: Bandung, 1995. Hlm. 317-318

 

[2] Lihat kitab terjemah Tanqiihul Qaul al-Hatsists. Hlm. 318

[3] H.R. Ibnu Majah dari Anas bin Malik

[4] Assalaam, No. 5 / Januari 2006

[5] Mitos adalah pengetahuan-pengetahuan baru yang bermunculan dan merupakan gabungan dari pengalaman dan kepercayaan kita. Sedangkan cerita yang berdasarkan mitos ini disebut Legenda.

[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir  yang bersumber dari adl-Dlahhak.

[7] HR Al-Hakim dan Abu Dawud dari Abdullah bin Amr bin Ash.

[8]Maksudnya,  nama-nama Allah yang ada 20. Wujud, qidam, baqa’, mukhalafatu lil hawadist, qiyamuhu binafsihi, wahdaniat, qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama, bashar, kalam, qadiran, muridan, aliman, hayyan, sami’an, bashiran, mutakalliman.

[9] Lihat: Prof. Rahmat Syafe’I, M.A., Al-Hadis: Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum, hlm. 209-210

[10] Pernyataan ini dikutip oleh Abu Said Al-Khudri dalam bukunya, Syahwat Televisi, hlm. 29

Tinggalkan komentar