Oleh Dedy Susanto
[22.03.’10]
Menjadi penulis bukanlah suatu keharusan. Tetapi kalau tidak ada penulis, alamat dunia akan “kiamat”. Entah apa yang akan terjadi bila penulis Al-Qur’an pada zaman Nabi saw. tidak ada. Entah bagaimana jadinya jika sahabat Usman tidak membukukan kitab suci Al-Qur’an (mushaf Usmani, yang digunakan umat manusia di seluruh dunia sampai sekarang). Mau mengandalkan para penghafal Al-Qur’an? Bagaimana kalau mereka mati terbunuh dalam peperangan? Akankah kitab Al-Qur’an sampai kepada kita kalau para penghafal Al-Qur’an sudah tiada? Kalaupun sampai, tidak akan se-orisinil atau sesempurna aslinya. Kekuatan pikiran manusia itu sangat terbatas. Dengan kata lain, menulis adalah penyambung sejarah. Berdasarkan semua fakta itu, dapat disimpulkan bahwa menulis itu sangat penting.
Sebagaimana judul tulisan ini, Tidak Ada Paksaan Dalam Menulis, sangat penting kita bahas. Paksaan, maksudnya, adalah memaksa orang lain yang tidak memiliki hasrat untuk menulis. Kecuali memaksa diri untuk bisa menulis (karena ingin menjadi penulis).
Menulis sebagaimana kita pahami sebagai suatu aktivitas yang sangat urgen. Tetapi, bukan sesuatu yang harus dipaksakan terhadap seseorang untuk menjadi penulis. Menjadi penulis itu harus dari dasar hatinya yang paling dalam. Semangat yang besar terhadap sesuatu akan memunculkan potensi dalam diri kita. Ibarat kata, potensi itu bagaikan ‘lebah yang bersembunyi di balik sarangnya’. Jika sarangnya disentuh oleh benda asing dari luar, maka lebah itu akan segera keluar. Setiap manusia dikaruniai potensi masing-masing. Termasuk menjadi penulis. Hanya saja, bagaimana ia lihai memancing potensi (menulis) itu agar keluar.
Masalahnya sekarang, bagaimana memancing potensi menulis itu?
Jawabannya sangat mudah. Pertama. Hasrat. Hasrat hampir serupa dengan niat. Hasrat untuk menggapai sesuatu atau hasrat untuk bisa melakukan sesuatu. Dengan bekal ini (hasrat) disertai dengan keyakinan, manusia akan sampai pada puncak yang ia inginkan.
Kedua. Praktek. Belajar menulis seperti halnya belajar naik sepeda. Sebanyak apa pun buku panduan yang ia baca, sesering apa pun ia mendengarkan nasihat tentang naik sepeda ia tidak akan bisa naik sepeda. Sebelum ia praktek langsung naik sepeda. Demikian juga menulis, seseorang tidak akan bisa menulis kalau tidak terus menerus berlatih menulis. Menulis apa pun yang ia sukai. Bagi pemula, jangan pernah berpikir untuk menulis yang baik. Dan jangan pernah pedulikan rumus-rumus tentang menulis. Orang banyak terjebak di sini. Karena memikirkan bagaimana menulis yang baik. Akhirnya ide di kepalanya hilang. Kalau ide sudah hilang sulit untuk kembali lagi. Akhirnya, kita juga yang rugi.
Ketiga. Tidak putus asa. Pandanglah kegagalan sebagai batu loncatan menuju suatu keberhasilan. Pada mulanya menulis itu sulit tetapi pada step selanjutnya akan mengalir bagai air sungai. Dalam hal ini, kita patut mencontoh sang penemu lampu pijar, Tomas Alfa Edison, yang mengalami kegagalan ratusan kali.